Hari itu, 23 Mei 2008
Di luar terik menyengat. tapi panas matahari itu tidak menyurutkan langkah penyelenggara negara untuk menaikkan harga
bensin BBM. Satu liter bensin menjadi 6500 rupiah. Keadaan menjadi kacau. Berita berita yang tidak jelas datang dari segala arah mata angin. Bahkan di dekat pintu kamar mayat ada juga orang yang sempat ngobrol tentang tema yang sama. Mulai dari issue lokal sampai issue bahwa ibukota Jakarta akan terjadi demo besar besaran. Issue ini beredar di sejumlah milis, dua hari sebelumnya.
Akhirnya kenaikan BBM tidak juga bisa dibendung. Malam harinya tepat pukul sembilan, pemerintah mengumumkan bahwa harga BBM naik. Ibu Sri Mulyani
menteri keuangan waktu itu
mengatakan bahwa harga BBM bersubsidi rata rata naik 28,7 persen.
Semua heboh. POM ramai oleh antrean. Kios bensin eceran rame rame berebut lezatnya kue puzzle yang tak terjadi setiap hari. Maka harga eceran pun melambung. Bahkan ada yang
dzolim menghargai satu liternya dua puluh ribu rupiah. Masya Allah, padahal ini Jember. Padahal ini kota kecil. Padahal...
Diantara jutaan rakyat Indonesia yang terjepit oleh keadaan, yang heboh, yang seperti tergerus alat berat, ada sedikit yang menghadapinya dengan tenang. Satu dari yang sedikit itu adalah
Mak Ibu kandung saya.
Kedua matanya terpejam. Napasnya teratur meski selang infus dan monitor di sana sini. beliau bahkan tidak mengucapkan sepatah kata. Bagi saya itu adalah solusi yang 'baik' untuk mengatasi hari hari yang 'memuakkan'.
Sesekali saya masuk ke dalam
spesialis ruang stroke. Tapi entah mengapa saya lebih banyak menghabiskan waktu di luar. Beberapa kali saya masuk ke ruang itu dalam keadaan suci, meraih ayat suci, dan melantunkannya sesuci yang saya bisa. Mak, ini sudah hari kedua dimana kau berbaring di atas sprai putih RSUD DR. Soebandi Jember.
Esoknya, 24 Mei 2008
Keadaan semakin kacau. Kritik kepada SBY datang silih berganti. Dan tentu saja itu bukan hanya monopoli orang orang Ibukota. Jember juga bergoyang. Suasana memanas, jauh lebih panas dari issue Indonesia Malaysia. Tapi Mak diam saja. tak satu patah kata pun yang beliau ucapkan. Apalagi menghujat para penyelenggara negara dengan cara politikus kampus
palsu pasaran. Tindakannya sungguh anggun, diam. Jauh lebih anggun dari komentator dadakan.
Sampai pada sore hari, pukul lima lebih lima, Mak kembali pada Pelukan Sang Pencipta.
Sedih, tentu saja. Ingin menangis tapi tidak sempat. Ini rumah sakit Dr.Soebandi, bukan rumah
mbah buyut saya. Bapak melakukan sujud tak jauh dari ranjang Mak, sambil tak henti menyebut Asma Allah. Sementara mbak, satu satunya saudari kandung saya, melelehkan air mata dengan naluri keperempuanannya. Tidak ada laki laki lagi di sana. Tak sampai lima menit kemudian, saya sudah disibukkan dengan segala hal yang bersifat administratif. Mulai dari pembayaran gono gini sampai pemesanan ambulance. Jauh dekat 75.000. Dan rumah saya sangat dekat sekali dengan rumah sakit. Kurang lebih satu kilometer. Tapi sama, 75.000.
Mak, sampai detik terakhir kau masih saja mengajari
aku untuk pandai membaca situasi. Pandai menyikapi segala hal. Termasuk menyikapi carut marutnya negeri ini. Tiga hari engkau ada di rumah sakit, tiga hari itu pula engkau diam, mulai dari berangkat
dari rumah, hingga jenasahmu kami shalati
di rumah.
Mak,
aku tidak sempat menangis mak. Hanya saja kali ini
aku tidak kuat menahannya. Maaf Mak, pada saat anak lelakimu menuliskan ini, kedua matanya basah oleh air mata. Padahal kau tidak berpesan apa apa selain satu hal. DIAM. Dan
diam diam aku malu untuk melelehkan air mata.
Hening sejenak..Beberapa menit kemudian;
Semenjak Mak Pergi, semua berangsur angsur membaik. Butuh waktu lama memang. Tapi Alhamdulillah 'kami' bisa.
Pada 15 Januari 2009, SBY menurunkan kembali harga BBM. Ini merupakan penurunan harga yang kedua kalinya di bulan yang sama.
Ada kalanya, sebuah masalah yang rumit bisa diselesaikan dengan cara yang sangat sederhana. Diam adalah pilihan terakhir. Tapi Mak membuktikan, meskipun pilihan terakhir dan
dianggap tergampang dari beberapa pilihan, diam bukan berarti solusi yang tidak bijaksana.
Mak, sembah sungkem dari lelaki kecilmu..