Sekali waktu, saya juga update status facebook dengan disertai foto. Kenapa harus disertai foto? Saya kira, itu memudahkan saya jika suatu hari nanti ingin membaca lagi apa yang pernah saya tulis. Begitu cepatnya roda media sosial, saya harus memiliki cara untuk mengatasinya.
Diskusi Novel Karya Irma Devita. Jember, 12 Juni 2014
Melihat hasil jepretan Pije di atas, membuat saya mengingat banyak hal. Saat itu, di hari yang sama lahirlah bayi mungil bernama Khansa Adzkia Hikmawan. Ia adalah buah hati pasangan Bayu Hikmawan a.k.a Wawan dan Aya. Wawan adalah keluarga tamasya band, hubungan kami terbilang sangat dekat. Di empat tahun perjalanan tamasya band, Wawan tampil sebagai manager keluarga. Ia tidak menjadi manajer sendirian, melainkan bersama Zuhana dan Nanang NBK. Kini peran Wawan di tamasya band digantikan oleh Achmad Bachtiar a.k.a Bebeh.
Selamat mengecup dunia, Khansa Adzkia Hikmawan.
Esoknya kami menggelar acara serupa di Kalisat, Jember Utara. Bedanya, di Kalisat dikemas dengan format yang lebih santai, apa adanya, dan outdoor. Saya membuat catatan yang panjang --dalam draft-- untuk kedua acara tersebut, perihal Diskusi Novel Sang Patriot Sebuah Epos Kepahlawanan.
Malam harinya, kami mengajak Marjolein untuk menonton reuni Kentrung Djos, sebuah komunitas seni kentrung yang legendaris, berdiri di Fakultas Sastra Universitas Jember sejak 1982. Mereka lama sekali tidak tampil. Pantaslah jika banyak yang menanti penampilannya.
Kentrung Djos, 13 Juni 2014
Salah satu penggerak Kentrung Djos adalah Mas Ilham Zoebazary. Hingga kini ia masih aktif menjadi pengajar di Fakultas Sastra UJ. Ia juga menjadi pembicara di acara Diskusi Novel di Auditorium RRI Jember yang bertutur tentang perjuangan masyarakat Jawa Timur, khususnya Jember, dengan tokoh sentral Letkol Moch. Sroedji.
Sayang sekali Keluarga Besar Sroedji tidak bisa menonton penampilan Kentrung Djos. Mereka sedang beristirahat di Aston Hotel. Esok harinya mereka masih harus on air di Prosatu RRI Jember, kemudian meluncur ke Surabaya untuk mempersiapkan acara di sana, 15 Juni 2014. Sedulur Roodebrug Soerabaia sudah mempersiapkan serangkaian acara, diantaranya adalah Aksi Teatrikal Sang Patriot. Keren sekali!
Sabtu sore, 14 Juni 2014
Ketika Keluarga Sroedji meluncur ke Kota Surabaya, kami menemani Marjolein jalan-jalan ke Kalisat. Ia tampak antusias dengan Stasiun Kalisat serta bangunan-bangunan tua di sekitarnya. Namun Marjolein lebih berhasrat pada jenis-jenis ubin lawas. Ada apa dengan ubin lantai di Stasiun Kalisat? Saya pernah menceritakannya di sini.
Seusai tamasya sejarah di sekitar Stasiun Kalisat, serta berbincang dengan beberapa orang sepuh di sana, kami berpindah tempat. Kali ini bergeser ke Dawuhan Kembar, menikmati hasil masakan Ibu Sulasmini.
Kami makan bersama-sama. Walaupun tersedia piring, kami memilih untuk makan di atas daun. Rupanya Marjolein tak pandai makan tanpa sendok. Ia kidal pula. Syukurlah, meski demikian ia tampak senang.
Minggu, 15 Juni 2015
Ketika Roodebrug Soerabaia sedang melangsungkan Aksi Teatrikal Sang Patriot di Tugu Pahlawan Surabaya, kami yang di Jember sedang jalan-jalan di Kecamatan Rambipuji. Kami melihat bangunan, ngobrol di sebuah warung kopi, bertemu dengan Mas Slamet, lalu diajaknya kami --oleh Mas Slamet-- menemui pasangan Kakek dan Nenek Yo. Saat kami tiba di sana, hanya ada Nenek Yo. Rupanya suaminya sedang keluar bersama salah satu keponakannya.
Kami dan Keluarga Yo di Rambipuji
Bersama Nenek Yo, kami mendapatkan serpih-serpih perwajahan Rambipuji di era 1947 - 1949. Ada banyak hal yang saya catat dari sesi pertemuan ini.
Di hari yang sama, sore harinya, datang kabar gembira. Pasangan keluarga tamasya band Nanang NBK dan Elis, mereka telah dikaruniai momongan. Alhamdulillah. Mereka memberinya nama Vikesha Affandra Lesta Kurniawan.
Sebenarnya, ketika Vikesha lahir --Malang, 17.17 WIB, kami baru saja selesai berdiskusi dengan Pak Sabar a.k.a Kusnadi, lelaki sepuh kelahiran 1914. Kini ia tinggal di Desa Kaliputih, Rambipuji. Saat itu kami bersiap-siap meluncur ke Grenden, menghadiri undangan makan bersama oleh keluarga Etty Dharmiyatie. Itu benar-benar hari yang padat.
Selamat mengecup dunia, Vikesha Affandra Lesta Kurniawan.
Esok harinya kami mengantarkan Marjolein ke Stasiun Jember. Saat itu ia hendak melakukan perjalanan ke Banyuwangi. Juni yang indah, bulan yang penuh kisah.
Tak Ada Ingatan Yang Sempurna
Dalam rangkaian catatan di atas, sebenarnya saya sedang menyajikan data-data untuk diri saya sendiri, agar mudah untuk mengingatnya. Saya bersyukur jika rangkaian data itu bisa dinikmati oleh sahabat blogger. Adapun sebagian besar data yang lebih detail, saya simpan di beberapa tempat. Kebanyakan di draft sebuah blog, lalu catatan yang ada di draft itu saya salin di PC komputer.
Tak ada ingatan yang sempurna, maka akan baik jika kita membaca sebanyak-banyaknya, menggali sedalam-dalamnya, dan mencatat sesempat-sempatnya. Saya kira apa yang dikatakan Andreas Harsono dalam blog pribadinya adalah benar, bahwa menuliskan masa lalu dengan benar adalah kunci untuk menghadapi masa depan dengan baik.
Mari mencatat.
Sebagai penutup, akan saya tuliskan kisah tentang Thucydides, dari buku Pantau, Sembilan Elemen Jurnalisme. Mereka mengadopsinya dari buku berjudul; Thucydides, History of the Peloponnesian War.
Thucydides
Saat ia duduk untuk menulis, wartawan Yunani itu ingin meyakinkan pembacanya bahwa mereka bisa percaya kepadanya. Ia ingin orang tahu, ia tak sedang menulis versi resmi sebuah peperangan, ataupun sedang tergesa-gesa. Ia sedang berupaya menghasilkan sesuatu yang lebih independen, yang lebih bisa diandalkan, dan yang lebih tahan lama. Ia berhati-hati dalam membuat laporannya karena memori, perspektif, dan politik telah mengaburkan daya ingatnya. Ia harus mengecek ulang fakta yang ditemukannya.
Untuk menyampaikan semua ini, ia memutuskan untuk menjelaskan metode pembuatan laporannya begitu ia memulainya. Berikut adalah dedikasi terhadap metodologi kebenaran yang ditulis Thucydides, lima abad sebelum Masehi, dalam pengantar laporan Perang Peloponnesia:
Sekalipun ada peristiwa faktual yang saya saksikan ... saya berprinsip untuk tak langsung menuliskan cerita pertama yang datang kepada saya, dan bahkan tidak akan tergiring oleh kesan umum yang saya tangkap; baik saya hadir langsung di lokasi peristiwa yang saya gambarkan ataupun mendengar tentang peristiwa itu dari saksi mata yang laporannya saya periksa seteliti mungkin. Bahkan dengan cara itu pun kebenaran tak mudah didapatkan: saksi mata yang berbeda memberi kesaksian yang berlainan dari peristiwa yang sama, menyebutnya sebagian saja, dari satu sisi atau sisi yang lainnya, atau karena ingatan yang tidak sempurna.
Sejak pertama membaca pemikiran Thucydides, saya segera merenungkannya. Kini saya semakin merenungkannya. Gagasannya hidup di kepala saya.
Sejarah atau sajaratun, ia seperti biji pohon asam yang tumbuh di tembok raksasa. Semakin besar, semakin ia berdaulat atas dirinya sendiri. Bayangkan bila sejarah ditulis dengan sebenar-benarnya, dengan disiplin verifikasi, tentu apa yang dikatakan seorang Andreas Harsono menjadi nyata adanya.
"Saya kira menuliskan masa lalu dengan benar adalah kunci untuk menghadapi masa depan dengan baik."